Menjaga Amal Ibadah

Hadits nomor 2/154

Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ، أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ، فَقَرَأَهُ فِيمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْفَجْرِ، وَصَلَاةِ الظُّهْرِ، كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ»
"Siapa yang ketiduran dari hizibnya (wiridnya) atau sesuatu daripadanya, lantas ia membacanya ketika di antara shalat fajar (subuh) dan shalat zhuhur, maka akan dicatat baginya sebagaimana ia membacanya ketika malam hari." (HR. Muslim).

Sederhana Dalam Ketaatan


Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا امْرَأَةٌ قَالَ مَنْ هَذِهِ قَالَتْ فُلَانَةُ تَذْكُرُ مِنْ صَلَاتِهَا قَالَ مَهْ عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَادَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ

bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendatanginya sedangkan Aisyah sedang bersama seorang wanita lain, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "siapa ini?" Aisyah menjawab: "si fulanah", Lalu diceritakan tentang shalatnya (dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa fulanah adalah wanita yang tidak pernah tidur karena selalu menunaikan shalat sepanjang malam). Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "tinggalkanlah apa yang tidak kalian sanggupi, demi Allah, Allah tidak akan bosan hingga kalian sendiri yang menjadi bosan, dan agama yang paling dicintai-Nya adalah apa yang senantiasa dikerjakan secara rutin dan kontinyu". (HR. Bukhari & Muslim).

Berita Tentang Hari Kebangkitan dan Dalil – Dalil Penetapannya

(Tafsir Surat an-Naba’ ayat 1-16)

بسم الله الرحمن الرحيم

عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ (1) عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2) الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ (3) كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (4) ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (5) أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا (6) وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (7) وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا (8) وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا (9) وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (10) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (11) وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا (12) وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا (13) وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14) لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا (15) وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا (16)

(1) tentang Apakah mereka saling bertanya-tanya? (2) Tentang berita yang besar (3) yang mereka perselisihkan tentang ini. (4) sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui, (5) kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui. (6) Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, (7) dan gunung-gunung sebagai pasak?, (8) dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, (9) dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, (10) dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, (11) dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, (12) dan Kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, (13) dan Kami jadikan pelita yang Amat terang (matahari), (14) dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, (15). supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, (16). dan kebun-kebun yang lebat? (QS. An-Naba’ [78]: 1-16).

Allah subhanahu wa ta’ala mengingkari kaum musyrikin yang saling bertanya di antara mereka tentang pengingkaran adanya hari kiamat. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

Penjelasan Tentang Banyaknya Jalan Kebaikan


Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ الْإِيمَانُ بِاللَّهِ وَالْجِهَادُ فِي سَبِيلِهِ قَالَ قُلْتُ أَيُّ الرِّقَابِ أَفْضَلُ قَالَ أَنْفَسُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا وَأَكْثَرُهَا ثَمَنًا قَالَ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ أَفْعَلْ قَالَ تُعِينُ صَانِعًا أَوْ تَصْنَعُ لِأَخْرَقَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ ضَعُفْتُ عَنْ بَعْضِ الْعَمَلِ قَالَ تَكُفُّ شَرَّكَ عَنْ النَّاسِ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ مِنْكَ عَلَى نَفْسِكَ

"Aku pernah bertanya kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah! Amalan apakah yang paling utama? ' Beliau menjawab: "Beriman kepada Allah dan berjihad pada jalan-Nya." Aku bertanya, "Hamba sahaya yang bagaimanakah yang paling utama?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Hamba sahaya yang paling baik menurut pemiliknya dan paling mahal harganya." Aku bertanya lagi, "Bagaimana jika aku tidak bisa mengerjakannya?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Kamu bisa membantu orang yang bekerja atau bekerja untuk orang yang tidak memiliki pekerjaan." Aku bertanya lagi, 'Wahai Rasulullah! Apa pendapatmu jika aku tidak mampu melakukan sebagian dari amalan itu? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Hendaklah kamu menghentikan kejahatanmu terhadap orang lain karena hal itu merupakan sedekah darimu kepada dirimu." (HR. Muslim).

Faidah hadits:

Dorongan Untuk Memperbanyak Kebaikan di Penghujung Usia


Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda:

أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً

"Allah berdalih kepada seseorang dengan menangguhkan ajalnya hingga mencapai umur enam puluh tahun." (HR. Bukhari).

Mujahadah (Bersungguh - Sungguh dalam Ibadah)

عن أبي هريرة - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم: «إنَّ الله تَعَالَى قَالَ: مَنْ عادى لي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بالحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدي بشَيءٍ أَحَبَّ إلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حَتَّى أحِبَّهُ، فَإذَا أَحبَبتُهُ كُنْتُ سَمعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشي بِهَا، وَإنْ سَأَلَني أعْطَيْتُهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيذَنَّهُ» . رواه البخاري.
«آذَنتُهُ» : أعلمته بأني محارِب لَهُ. «اسْتَعَاذَني» روي بالنون وبالباءِ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman: "Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan, jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah, maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. (HR. Bukhari).
Bahasa hadits:
Kata Wali (وَلِيًّا), berasal dari kata al-waliya yaitu dekat. Jadi kata wali itu maknanya adalah dekat kepada Allah ta’ala karena ia mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengikuti segala yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya serta memperbanyak ibadah – ibadah sunnah. Sungguh telah datang kabar sifat – sifat wali ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
“Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah itu, sama sekali mereka tidak ditimpa rasa takut dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang – orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yunus [10]: 62-63.)
An-Nawafil (النَّوافِلِ): adalah jama’ dari kata nafilah. Menurut bahasa makna nafilah adalah tambahan (ziyadah). Maksudnya adalah keta’atan – keta’atan tambahan selain yang fardhu atau wajib.
Yabtisyu (يَبْطِشُ بِهَا): maksudnya adalah memukul dengannya.
Kuntu sama’ahu (كُنْتُ سَمعَهُ) : Aku-lah pendengarannya. Menurut sebagian peneliti, kalimat ini merupakan majaz, atau kinayah (penggunaan kata – kata yang tidak terang - terangan) atas pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala bagi hamba – hambanya yang mendekatkan diri kepadaNya dengan apa – apa yang telah disebutkan. Ini juga berarti adanya bimbingan dari Allah bagi hamba – hambaNya tersebut dan juga penjagaanNya dari hal – hal yang dapat menjerumuskan kepada maksiat.
Faidah Hadits:
1.       Hadits ini menunjukkan bahwa hendaknya seseorang tidak membenci ataupun menyakiti wali –wali Allah, karena bisa berakibat buruk baginya. Adapun mendebat mereka di depan sidang pengadilan demi mengungkap kebenaran, maka hal ini tidak termasuk dalam cakupan ancaman Allah – sebagaimana disebutkan dalam hadits. Di antara para sahabat – yang notabenenya merupakan wali – wali Allah – sendiri, sering kali satu sama lain saling beradu hujjah di depan majelis sidang.
2.       Hadits ini juga menunjukkan bahwa amalan – amalan yang wajib harus dikerjakan terlebih dahulu baru kemudian amalan – amalan yang sunnah, karena perintah – perintah untuk mengerjakan yang wajib itu bersifat tegas. Melanggengkan ibadah – ibadah sunnah seperti shalat – shalat sunnah rawatib, shalat malam, dan membaca al-Qur’an setiap selesai shalat fardhu, dapat menghantarkan seorang hamba meraih mahabbatullah dan menjadi waliNya.
3.       Keharusan memurnikan Allah dari sifat – sifat yang tidak layak bagi-Nya, misalnya al-hulul (menempati suatu benda) atau menyatu dengan benda; dan keharusan memaknai sifat – sifat mutasyabih (menyerupai makhluk) Allah dengan pemaknaan yang sesuai dengan keluhuran Dzat-Nya, atau pemaknaannya diserahkan kepada Allah subhanahu wata’ala saja.
4.       Ketika seorang hamba benar dalam beribadah kepada Allah ta’ala hingga mencapai kedudukan wali Allah, maka Allah akan mengabulkan setiap do’anya apabila hal itu baik baginya, atau menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dari yang ia minta itu baik di kehidupan dunia maupun di kehidupan akhirat.